Jumat, 17 April 2015

KERANGKA TEORI DAN SISTEMATIKA KONSELING


            Jika dilihat dari sejarah perkembangannya, tidak ada satu sistem yang dominan yang mengatur konseling.
            Pada ahir tahun 1940-an, para profesional menyadari kelemahan dari sistem konseling. Robet Mathewson (1949) mengamati bahwa konseling “sedang berada pada pencarian sebuah sistemuntuk membebaskan diri dari ketidakcukupan kerangka yang dipinjam dari filosofi dan pendidikan tradisional, dari psikologi, dari formulasi politik yang mendasari pemerintahan yang demokratis, dari konsep sains dll”
            Sampai ahir 1940-an, konseling menggunakan berbagai macam sistem. Karena profesi tersebut tidak memiliki basis organisasi, bermacam kelompok mendefinisikan apa yang mereka lakukan berdasarkan sistem yang paling cocok  dengan diri mereka. Kompetesi di antara berbagai macam sudut pandang khususnya yang berhubungan dengan teori sering sangat seru. Beberapa konselor menyadari perlunya sebuah pendekatan sistematik yang bisa menyatukan dalam disiplin mereka, tetapi perkembangan profesi yang tidak terencana terbukti menjadi hambatan besar. Meskipun begitu, pada tahun 1990-an telah muncul beberapa sistem konseling, dua yang paling dominan adalah ancangan perkembangan/ kesejahteraan dan rancangan medis/ patologis.
A.    Ancangan Perkembangan atau kesejahteraan
Konseling dari perspektif ini didasarkan pada apakah masalah yang dihadapi klien itu berdasarkan tugas pengembangan kehidupan. Perilaku yang sesuai pada suatu tahap kehidupan tertentubelum tentu sesuai pada tahapkehidupan lainnya.
Allen Ivey (1990) menyarankan untuk menerapkan konsep Piagetian dari tingkat kognitif (sensori motorik, konkret, formal dan pasca formal). Oleh karena itu apabila klien pada mulanya tidak menyadari perasaan mereka sendiri, konselor akan bekerja mulai dari tingkat sensorimotor untuk memunculkan emosi kliennya. Dengan cara yang sama, klien yang tertarik merencanakan strategi perubahan akan dibantu melalui formal pikiran.
Sedangkan dalam perspektif kesejahteraan, individu dipandang mempunyai sumberdaya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi secara praktis dan sesegera mungkin. Contoh dari pendekatan konseling yang di dasarkan pada model kesejahteraan adalah solution focused theory. Contoh lain pendekatan kesejahteraan masa kini dan mendatang adalah Stress Inoculation Training (SIT) (Meichenbaum, 1993), sebuah intervensi yang bersifat proaktif dan psikoeducational yang dapat digunaka disekolah maupun untuk orang dewasa. (Israelashvili, 1998). Pada model ini seorang individu untuk memahami situasi dari permasalahan mereka, mendapat keahlian untuk mengatasi masalah tersebut, dan menerapkan pengetahuan tersebut untuk menghadapi peristiwa-peristiwa di masa kini dan masa depan, melalui penggunaan imajinasi atau latihan simulasi.
Inti dari pendekatan perkembangan atau kesejehateraan ini adalah menekankan pada tindakan preventif dan edukatif.
B.     Model medis atau  patologis
 Berlawanan dengan ancangan konseling perkembangan adalah model medis atau patologis  dari manusia yang diwakili oleh mereka, yang mendasarkan rencana perawatan sesuai dengan Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorders (DSM) (American Psychiatric Association, 2000). DSM ini sesuai dengan manual International Classification of Diseases (ICD-10), yang diterbitkan oleh WHO, dalam menyusun pengelompokan  gangguan psikiatri.
Fitur unik dari sistem DSM sejak tahun 1980 adalah penggunaan lima sumbu (poros) untuk menjelaskan diagnostic klien.
·         Sumbu I : mencakup sindrom klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi focus perhatian klinis utama. Hal tersebut biasanya dianggap sebagai sumbu tempat klien menyampaikan masalah  dan munculnya diagnosis utama.
·         Sumbu II : Memuat informasi diagnosis tentang gangguan kepribadian dan keterbasan mental.
·         Sumbu III : Menggambarkan informasi mengenai kondisi medis klien secara umum, misalnya sakit kronis
·         Sumbu IV : Memuat informasi mengenai masalah-masalah psikososial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi diagnosis, perawatan, dan prognosis dari gangguan mental, seperti tidak punya teman dan rumah tidak layak
·         Sumbu V : Memberikan Global Assesment of Relational Fungtioning (GARF) untuk klien dengan skala 0-100 (Ginter,2011). Semakin tinggi skornya, berarti semakin berfungsi baik. Penilaian tersebut dapat berhubungan dengan masa lalu maupun masa kini.
Ketika semua sumbu digabungkan, hasilnya mungkin seperti berikut :
·         Sumbu I   : 305.00; kecanduan alcohol, moderat.
·         Sumbu II  : 317.00; cacat mental ringan
·         Sumbu III : Sakit kronis
·         Sumbu IV : bercerai, menganggur, tidak punya teman
·         Sumbu V  : GARF = 40 (saat kini)
Secara keseluruhan, DSM merupakan sebuah model yang sangat menarik tetapi juga controversial (Erikson & Kress, 2006; Hinkle, 1994; Lopes et al., 2006). Model tersebut ateoretis dan mengkotakkan gangguan mental sebagai disposisional. Masalah-masalah sosial seperti  rasisme, diskriminasi, patriarki, homophobia dan kemiskinan “tidak teruraikan dalam focus DSM pada gangguan yang berakar pada diri seseorang” (Kress, Eriksen, Rayle & Ford, 2005, p.98). Lebih jauh DSM secara subtansial tidak berhubungan dengan apapun, kecuali diagnosis individual, yang sebagian besar parah. Oleh karena sistem klasifikasi ini terbatas kegunaannya untuk konselor kelompok, perkawinan dan keluarga, dan konseling profesional yang tidak bekerja dengan populasi yang snagat terganggu, atau yang bekerja dari orientasi humanistic. Meskipun begitu, DSM –IV-TR terorganisir secara logis dan memiliki jejaring “pohon “  keputusan yang baik (untuk mengetahui klasifikasi DSM-IV-TR)
Konselor jangan bersikap naïf terhadap keterbatasan DSM atau alternatifnya yang telah didiskusikan secara komperhensif oleh Eriksen dan Kress (2006). Bagaimanapun juga seyogyanya mereka menguasi terminology DSM, telepas dari latar belakang, spesialisasi, dan bahkan setuju tidaknya mereka dengan sistem klasifikasi ini, demi alas an berikut :
1.      Sistem DSM dipergunakan secara universal oleh profesi penolong lainnya dan menjadi basis dialog bersama, antara konselor dengan spesialis kesehatan mental lainnya
2.      Sistem DSM membantu konselor mengenal pola gangguan mental pada klien yang perlu dirujuk ke professional kesehatan  mental lainnya, atau dirawat dengan cara-cara tertentu
3.      Dengan mempelajari sistem DSM, konselor membentuk akuntabilitas , kredibilitas, keseragaman pengelolaan data, rencana perawatan berbasis informasi, penelitian dan jaminan kualitas




0 komentar: