Senin, 06 Oktober 2014

NEURODEVELOPMENTAL DISORDER/ GANGGUAN PERKEMBANGAN MENURUT DSM 5 DAN PEMBAHASANNYA (Part 1)

2.1 Intellectual Disability
      2.1.1 Definisi
            Intellectual disability adalah gangguan selama periode perkembangan termasuk  gangguan intelektual dan kurangnya fungsi adaptasi konseptual, sosial dan praktik. Dalam DSM V dijelaskan setidaknya ada 3 kriteria seseorang dapat disebut mengalami gangguan ini, antara lain:
1.      Kurangnya fungsi intelektual seperti memberikan alasan, pemecahan masalah,
2.      perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan belajar dari pengalaman. Kesemuanya ini didasarkan pada assessment klinis dan dan tes intelegensi standar individual.
3.      Kurangnya fungsi adaptasi dalam memenuhi standar sosiokultural untuk mandiri dan memberikan respon sosial. Tanpa ada dukungan bagi subyek, maka akan menyebabkan hambatan dalam satu atau lebih aktivitas harian seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri di tengah lingkungan seperti rumah, sekolah, kerja dan komunitas.
4.      Terhambatnya fungsi intelektual dan adaptasi selama masa perkembangan
            Gangguan intellectual disability ini, di Indonesia kerap kita sebut dengan retardasi mental. Retardasi mental adalah fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang muncul selama masa pertumbuhan. Kebanyakan diagnosis terhadap kasus ini adalah melalui pengukuran tes IQ, dimana seseorang dengan skor IQ di bawah 70 dapat dikategorikan mengidap kasus ini.
2.1.2 Gejala atau simtom
-          Anak-anak :Keterlambatan perkembangan umum (duduk, berjalan, berbicara dan toilet training), Kesulitan mengatur pekerjaan sekolah layaknya anak-anak lain dan Masalah perilaku
-          Remaja: Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya, timbul pengasingan sosial, Perilaku seksual yang tak pantas, Kesulitan transisi ke masa dewasa
-          Dewasa: Kesulitan menjalankan fungsi keseharian dan membutuhkan bantuan seperti memasak, mengatur uang, dan Mengalami masalah dalam perkembangan sosial dan kemandirian seperti mencari pekerjaan, menikah dan membesarkan anak.
2.1.3 Kategori gangguan
   Ringan, IQ 50/55–70 yakni sebanyak 85 % dari seluruh kasus retardasi mental.  Saat anak-anak, mungkin tidak tampak berbeda dengan yang normal, namun mereka mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah. Saaat dewasa, mereka dapat melakukan pekerjaan yang tidak butuh cukup keterampilan. Namun terkadang membutuhkan dukungan sosial dan ekonomi. Umur mental yang dapat dicapai 9-12 tahun.
   Sedang, IQ 35/40–50/55 yakni sebanyak 10 % dari seluruh kasus retardasi mental. Biasanya muncul bersamaan dengan gangguan neurologis, termasuk gangguan motorik. Retardasi mental tipe ini dapat hidup mandiri dengan keluarga atau orang rumah. Banyak diantaranya memiliki kerusakan otak dan disertai patologi lain. Umur mental yang dapat dicapai 6-9 tahun.
   Berat, IQ 20/25–35/40, biasanya diasosiasikan dengan abnormalitas fisik menengah dan kontrol sensorimotor yang terbatas. Beberapa diantaranya dapat pergi mengenyam pendidikan, namun dengan supervisi. Umur mental yang dapat dicapai 3-6 tahun.
   Sangat berat, IQ < 20/25, membutuhkan pengawasan total dan perawatan sepanjang hidup. Mereka tidak dapat berkomunikasi atau berbahasa. Umur mental yang dapat dicapai kurang dari 3 tahun.
Meskipun hasil tes IQ sering digunakan sebagai acuan klasifikasi retardasi mental, namun ada beberapa isu terkait pengklasifikasian retardasi mental berdasarkan kemampuan orang beradaptasi dengan lingkungan serta kegagalan mengatasi tuntutan kehidupan dan berkembang seiring usia.
2.1.4 Prevalensi
            Kasus retardasi mental terjadi 1%-2% dari total keseluruhan manusia. dari jumlah ini 80% termasuk retardasi mental ringan, 12% sedang, 8% berat atau sangat berat. Kasus retardasi mental lebih banyak ditemui pada laki-laki daripada perempuan (6:1 pada kasus berat dan 2:1 pada kasus ringan). Biasanya juga dari kalangan ekonomi rendah. Seiring berkembangnya perawatan pada pengidap retardasi mental, prevalensi orang dewasa yang mengidap retardasi mental menjadi berkurang.
2.1.5        Etiologi
Hanya sekitar 25 % kasus retardasi mental yang dapat diketahui penyebabnya, selebihnya masih belum jelas. Penyebab yang dapat diketahui antara lain :
         Kondisi genetik, seperti Down syndrome, Fragile X syndrome dan kretinisme
         Kelainan perkembangan struktural, seperti mikrosefalus, makrosefalus dan hidrocefalus
•     Penyakit infeksi, termasuk kerusakan jaringan otak akibat infeksi intracranial, serum, obat, atau      zat racun lainnya. Juga termasuk penyakit lain seperti rubella, parental syphilis dan encephalitis
         Kejadian prenatal, seperti infeksi pada ibu (contoh: rubella) dan kelaian endokrin (contoh: hipotiroid)
         Trauma kelahiran, seperti asfiksia saat kelahiran, sinar X, bahan kontrasepsi, serta usaha aborsi.
         Gangguan metabolise, pertumbuhan atau gizi.
         Deprivasi sosial, yakni faktor sosial budaya dan masalah penyesuaian diri.



2.1.6 Beberapa kelainan genetik yang disertai retardasi mental
Down syndrome
            Orang dengan down syndrome memiliki tubuh pendek dan karakteristik wajah yang khas seperti mata sipit dan naik, rambut lurus, mulut kecil dan lidah lebar. Semua orang dengan down syndrome memiliki tingkatan kemampuan belajar. Down syndrome ditemukan pada sekitar 1 dari 500-600 kelahiran. Orang dengan down syndrome memiliki abnormalitas kromosom dimana jumlah kromosom-21 nya ada 3, dari yang seharusnya 2 (trisomi).
            Meskipun ada dugaaan tidak ada treatment untuk down syndrome, namun beberapa aspeknya berespon terhadap treatment medis, contohnya penggunaan thyroxine sejak lahir dapat mengurangi keterlambatan perkembangan motorik dan mental di masa anak-anak.
Fragile X syndrome
            Kasus fragile X syndrome terjadi 1 dari 1000 laki-laki dan 1 dari 2500 perempuan yang lahir. Syndrome ini terjadi akibat gen FMR-1 (Fragile X mental retardation) pada kromosom X. Frekuensi syndrome ini lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, terjadi karena laki-laki memiliki kromosom X dan Y sedangkan perempuan memiliki 2 kromosom X.
2.1.7 Komorbiditas
            Gejala gangguan lain juga sering turut mengikuti gangguan intellectual diability ini, seperti mental disorder, cerebral palcy, dan epilepsy. Seseorang dengan gangguan-gangguan lain ini lebih rentan 3 hingga 4 kali mengalami intellectual disability. Gangguan yang menyertai, yang paling umum ditemukan adalah ADD/ADHD, ganggguan depresif dan bipolar, gangguan kecemasan, autisme, stereotypic movement disorder, gangguan impulsive, dan gangguan neuorokognitif. Orang dengan intellectual disabilities juga mungkin menunjukkan perilaku agresi serta perilaku merusak.
2.1.8 Intervensi
a. Intervensi Sosial
            Hidup orang dengan retardasi mental dipengaruhi pula oleh faktor sosial politik. Mereka yang dengan retardasi mental hendaknya terbuka untuk hidup selayaknya orang normal, memiliki ritme hidup yang normal, serta berperilaku sedapat mungkin sesuai dengan norma sosial.
Beberapa yang perlu diperhatikan dalam intervensi sosial yang dapat dilakukan adalah :
·         Adanya komunitas àOrang dengan retardasi mental tinggal dalam komunitas, dalam rumah yang normal, bukan dalam institusi. Hal ini untuk mencegah pelingkupan disabilitas.
·         Pilihan à Mereka bebas memilih akomodasi, rutinitas sehari-hari, hadir dalam masyarakat.
·         Kompetensi àKompetensi mereka hendaknya diperkaya dan dimaksimalkan
·         Respect à Orang dengan retardasi mental secara terbuka didorong untuk respect terhadap orang lain
·         Partisipasi à Mereka juga memiliki hak partisipasi sosial yang setara termasuk akses kerja, fasilitas umum, aktivitas politik dan hubungan seksual.
Bentuk nyata dari intervensi sosial juga dapat berupa :
·         Pembelajaran di sekolah normal maupun spesial/inklusi, meliputi
1.    Pemberian instruksi yang bermakna, sesuai usia dan ketidakmampuannya
2.    Mengikutsertakan kurikulum sosialisasi dan hubungan pertemanan
3.    Mengikutsertakan orang tua dalam aktivitas sekolah
4.    Mengedukasi wali murid dengan berbagai media seperti selebaran, seminar, workshop dan group meeting
5.    Hubungan saling terintegrasi antara profesional, orang tua dan pihak sekolah
6.    Mengkomunikasikan perkembangan tahap demi tahap anak dengan retardasi mental
·         Persiapan menuju dewasa, meliputi
1.    Pemilihan aktivitas di masa depan, seperti pendidikan dan pekerjaan
2.    Tempat tinggal, apakah memilih tinggal di rumah keluarga atau tinggal secara    mandiri.
3.    Pemanfaatan waktu luang
4.    Perawatan kesehatan
·         Pekerjaan à Dukungan sosial juga hendaknya didapat dari tempat kerja dengan memberi mereka kesempatan melakukan kegiatan produktif, pelatihan keterampilan, olahraga dan aktivitas seni. Fasilitas day care juga mestinya disediakan bagi mereka.


b. Intervensi Psikologis
            Intervensi psikologis bagi orang dengan retardasi mental setidaknya memiliki salah satu dari 2 tujuan ini, yaitu untuk memaksimalkan kemampuan mereka atau mengurangi perilaku yang tidak sesuai. Keduanya sering menggunakan prinsip pengkondisian operan, menggunakan reward dan punishment sebagai pembentuk perilaku. Selain itu, dapat pula digunakan teknik reinforcement untuk memaksimalkan performa orang dengan retardasi mental. Selain dengan pendekatan behavioral, dapat pula dilakukan psikoterapi individu, psikoterapi grup, terapi keluarga dan farmakoterapi:
2.1.9 Multiaksial diagnosis
         Axis 1: Adanya gangguan dalam fungsi intelektual dan adaptasi pada penderita intellectual disability
         Axis 2: Adanya kondisi lama dan menetap pada gangguan intellectual disability
         Axis 3: Informasi yang relevan mengenai kesehatan fisik penderita gangguan intellectual disability
         Axis 4: Adanya masalah psikososial dan lingkungan yang dialami penderita intellectual disability

         Axis 5: Rating taraf kesehatan jiwa penderita intellectual disability (1-100 ; 1:sangat tidak sehat 100:sangat sehat)

-----
Daftar pustaka menyeusul

0 komentar: