2.1 Intellectual Disability
2.1.1
Definisi
Intellectual
disability adalah gangguan selama periode perkembangan termasuk gangguan intelektual dan kurangnya fungsi
adaptasi konseptual, sosial dan praktik. Dalam DSM V dijelaskan setidaknya ada
3 kriteria seseorang dapat disebut mengalami gangguan ini, antara lain:
1. Kurangnya
fungsi intelektual seperti memberikan alasan, pemecahan masalah,
2. perencanaan,
berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan belajar dari
pengalaman. Kesemuanya ini didasarkan pada assessment klinis dan dan tes
intelegensi standar individual.
3. Kurangnya
fungsi adaptasi dalam memenuhi standar sosiokultural untuk mandiri dan
memberikan respon sosial. Tanpa ada dukungan bagi subyek, maka akan menyebabkan
hambatan dalam satu atau lebih aktivitas harian seperti komunikasi, partisipasi
sosial, dan hidup mandiri di tengah lingkungan seperti rumah, sekolah, kerja
dan komunitas.
4. Terhambatnya
fungsi intelektual dan adaptasi selama masa perkembangan
Gangguan intellectual disability ini, di Indonesia kerap kita sebut dengan
retardasi mental. Retardasi mental
adalah fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai ketidakmampuan
beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang muncul selama masa pertumbuhan.
Kebanyakan diagnosis terhadap kasus ini adalah melalui pengukuran tes IQ,
dimana seseorang dengan skor IQ di bawah 70 dapat dikategorikan mengidap kasus
ini.
2.1.2
Gejala atau simtom
-
Anak-anak :Keterlambatan perkembangan
umum (duduk, berjalan, berbicara dan toilet training), Kesulitan mengatur
pekerjaan sekolah layaknya anak-anak lain dan Masalah perilaku
-
Remaja: Kesulitan hubungan sosial dengan
teman sebaya, timbul pengasingan sosial, Perilaku seksual yang tak pantas, Kesulitan
transisi ke masa dewasa
-
Dewasa: Kesulitan menjalankan fungsi
keseharian dan membutuhkan bantuan seperti memasak, mengatur uang, dan Mengalami
masalah dalam perkembangan sosial dan kemandirian seperti mencari pekerjaan,
menikah dan membesarkan anak.
2.1.3
Kategori gangguan
• Ringan,
IQ 50/55–70 yakni sebanyak 85 % dari
seluruh kasus retardasi mental. Saat anak-anak, mungkin tidak tampak berbeda
dengan yang normal, namun mereka mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah.
Saaat dewasa, mereka dapat melakukan pekerjaan yang tidak butuh cukup
keterampilan. Namun terkadang membutuhkan dukungan sosial dan ekonomi. Umur
mental yang dapat dicapai 9-12 tahun.
• Sedang,
IQ 35/40–50/55 yakni sebanyak 10 %
dari seluruh kasus retardasi mental. Biasanya muncul bersamaan dengan gangguan
neurologis, termasuk gangguan motorik. Retardasi mental tipe ini dapat hidup
mandiri dengan keluarga atau orang rumah. Banyak diantaranya memiliki kerusakan
otak dan disertai patologi lain. Umur mental yang dapat dicapai 6-9
tahun.
• Berat,
IQ 20/25–35/40, biasanya diasosiasikan dengan abnormalitas fisik menengah dan
kontrol sensorimotor yang terbatas. Beberapa diantaranya dapat pergi mengenyam
pendidikan, namun dengan supervisi. Umur mental yang dapat dicapai 3-6 tahun.
• Sangat
berat, IQ < 20/25, membutuhkan pengawasan total dan perawatan sepanjang
hidup. Mereka tidak dapat berkomunikasi atau berbahasa. Umur mental yang dapat
dicapai kurang dari 3 tahun.
Meskipun hasil tes IQ sering digunakan sebagai acuan
klasifikasi retardasi mental, namun ada beberapa isu terkait pengklasifikasian
retardasi mental berdasarkan kemampuan orang beradaptasi dengan lingkungan
serta kegagalan mengatasi tuntutan kehidupan dan berkembang seiring usia.
2.1.4 Prevalensi
Kasus retardasi mental terjadi 1%-2%
dari total keseluruhan manusia. dari jumlah ini 80% termasuk retardasi mental
ringan, 12% sedang, 8% berat atau sangat berat. Kasus retardasi mental lebih
banyak ditemui pada laki-laki daripada perempuan (6:1 pada kasus berat dan 2:1
pada kasus ringan). Biasanya juga dari kalangan ekonomi rendah. Seiring
berkembangnya perawatan pada pengidap retardasi mental, prevalensi orang dewasa
yang mengidap retardasi mental menjadi berkurang.
2.1.5
Etiologi
Hanya sekitar 25 % kasus retardasi mental yang dapat
diketahui penyebabnya, selebihnya masih belum jelas. Penyebab yang dapat
diketahui antara lain :
•
Kondisi genetik, seperti Down syndrome,
Fragile X syndrome dan kretinisme
•
Kelainan perkembangan struktural,
seperti mikrosefalus, makrosefalus dan hidrocefalus
• Penyakit
infeksi, termasuk kerusakan jaringan otak akibat infeksi intracranial, serum,
obat, atau zat racun lainnya. Juga
termasuk penyakit lain seperti rubella, parental syphilis dan
encephalitis
•
Kejadian
prenatal, seperti infeksi pada ibu (contoh: rubella) dan kelaian endokrin
(contoh: hipotiroid)
•
Trauma
kelahiran, seperti asfiksia saat kelahiran, sinar X, bahan kontrasepsi, serta
usaha aborsi.
•
Gangguan metabolise, pertumbuhan atau
gizi.
•
Deprivasi sosial, yakni faktor sosial
budaya dan masalah penyesuaian diri.
2.1.6
Beberapa kelainan genetik yang disertai retardasi mental
Down syndrome
Orang dengan down syndrome memiliki
tubuh pendek dan karakteristik wajah yang khas seperti mata sipit dan naik,
rambut lurus, mulut kecil dan lidah lebar. Semua orang dengan down syndrome
memiliki tingkatan kemampuan belajar. Down syndrome ditemukan pada sekitar 1
dari 500-600 kelahiran. Orang dengan down syndrome memiliki abnormalitas
kromosom dimana jumlah kromosom-21 nya ada 3, dari yang seharusnya 2 (trisomi).
Meskipun ada dugaaan tidak ada
treatment untuk down syndrome, namun beberapa aspeknya berespon terhadap
treatment medis, contohnya penggunaan thyroxine sejak lahir dapat mengurangi
keterlambatan perkembangan motorik dan mental di masa anak-anak.
Fragile X syndrome
Kasus
fragile X syndrome terjadi 1 dari 1000 laki-laki dan 1 dari 2500 perempuan yang
lahir. Syndrome ini terjadi akibat gen FMR-1 (Fragile X
mental retardation) pada kromosom X. Frekuensi syndrome ini lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan, terjadi karena laki-laki memiliki
kromosom X dan Y sedangkan perempuan memiliki 2 kromosom X.
2.1.7 Komorbiditas
Gejala gangguan lain juga sering
turut mengikuti gangguan intellectual diability ini, seperti mental disorder,
cerebral palcy, dan epilepsy. Seseorang dengan gangguan-gangguan lain ini lebih
rentan 3 hingga 4 kali mengalami intellectual disability. Gangguan yang
menyertai, yang paling umum ditemukan adalah ADD/ADHD, ganggguan depresif dan
bipolar, gangguan kecemasan, autisme, stereotypic movement disorder, gangguan
impulsive, dan gangguan neuorokognitif. Orang dengan intellectual disabilities
juga mungkin menunjukkan perilaku agresi serta perilaku merusak.
2.1.8 Intervensi
a.
Intervensi Sosial
Hidup orang dengan retardasi mental
dipengaruhi pula oleh faktor sosial politik. Mereka yang dengan retardasi
mental hendaknya terbuka untuk hidup selayaknya orang normal, memiliki ritme
hidup yang normal, serta berperilaku sedapat mungkin sesuai dengan norma
sosial.
Beberapa
yang perlu diperhatikan dalam intervensi sosial yang dapat dilakukan adalah :
·
Adanya komunitas àOrang
dengan retardasi mental tinggal dalam komunitas, dalam rumah yang normal, bukan
dalam institusi. Hal ini untuk mencegah pelingkupan disabilitas.
·
Pilihan à Mereka bebas
memilih akomodasi, rutinitas sehari-hari, hadir dalam masyarakat.
·
Kompetensi àKompetensi
mereka hendaknya diperkaya dan dimaksimalkan
·
Respect à Orang dengan
retardasi mental secara terbuka didorong untuk respect terhadap orang lain
·
Partisipasi à
Mereka juga memiliki hak partisipasi sosial yang setara termasuk akses kerja,
fasilitas umum, aktivitas politik dan hubungan seksual.
Bentuk nyata dari intervensi sosial juga dapat
berupa :
·
Pembelajaran
di sekolah normal maupun spesial/inklusi, meliputi
1.
Pemberian
instruksi yang bermakna, sesuai usia dan ketidakmampuannya
2.
Mengikutsertakan
kurikulum sosialisasi dan hubungan pertemanan
3.
Mengikutsertakan
orang tua dalam aktivitas sekolah
4.
Mengedukasi
wali murid dengan berbagai media seperti selebaran, seminar, workshop dan group
meeting
5.
Hubungan
saling terintegrasi antara profesional, orang tua dan pihak sekolah
6.
Mengkomunikasikan
perkembangan tahap demi tahap anak dengan retardasi mental
·
Persiapan
menuju dewasa, meliputi
1.
Pemilihan aktivitas di masa depan,
seperti pendidikan dan pekerjaan
2.
Tempat tinggal, apakah memilih tinggal
di rumah keluarga atau tinggal secara mandiri.
3.
Pemanfaatan waktu luang
4.
Perawatan kesehatan
·
Pekerjaan à Dukungan
sosial juga hendaknya didapat dari tempat kerja dengan memberi mereka kesempatan
melakukan kegiatan produktif, pelatihan keterampilan, olahraga dan aktivitas seni.
Fasilitas day care juga mestinya
disediakan bagi mereka.
b. Intervensi
Psikologis
Intervensi psikologis bagi orang
dengan retardasi mental setidaknya memiliki salah satu dari 2 tujuan ini, yaitu
untuk memaksimalkan kemampuan mereka atau mengurangi perilaku yang tidak
sesuai. Keduanya sering menggunakan prinsip pengkondisian operan, menggunakan
reward dan punishment sebagai pembentuk perilaku. Selain itu, dapat pula
digunakan teknik reinforcement untuk memaksimalkan performa orang dengan
retardasi mental. Selain dengan pendekatan behavioral, dapat pula dilakukan
psikoterapi individu, psikoterapi grup, terapi keluarga dan farmakoterapi:
2.1.9 Multiaksial diagnosis
•
Axis 1: Adanya
gangguan dalam fungsi intelektual dan adaptasi pada penderita intellectual
disability
•
Axis 2:
Adanya kondisi lama dan menetap pada gangguan intellectual disability
•
Axis 3: Informasi
yang relevan mengenai kesehatan fisik penderita gangguan intellectual
disability
•
Axis 4: Adanya
masalah psikososial dan lingkungan yang dialami penderita intellectual
disability
•
Axis 5: Rating
taraf kesehatan jiwa penderita intellectual disability (1-100 ; 1:sangat tidak
sehat 100:sangat sehat)
-----
Daftar pustaka menyeusul
0 komentar:
Posting Komentar