- Title : Father
- Author : Yant Cassiopeia
- Length : 1 shoot
- Rating : PG-17
- Genre : Drama – Family – Angst
- Cast : Yunho, Changmin, Jihye
>>>
Buk~
Changmin menjatuhkan tubuhnya pada sofa ruang tamu
rumahnya. Ia menyandarkan diri disana – melepaskan lelah yang menerpanya.
Sekilas ia melirik pada jam dinding yang terpaku di salah satu sisi tembok
ruang tamu.
Pukul 00.00
Changmin melihat, lalu tak memperdulikannnya lagi.
Ia sambil mengusap sudut bibirnya dengan ibu jari. Darah, cukup banyak
dilihatnya menempel di ibu jarinya.
“Bajingan-bajingan itu sangat payah. Pemimpinnya
juga bodoh, seharusnya dia mengerahkan lebih banyak anak buahnya. Mereka bodoh!
Payah! Tidak bisa membuatku mati.” Changmin lalu tertawa. Menertawai dirinya
sendiri yang malang.
Drr~
Ponsel Changmin terasa bergetar, dengan malas ia
merogoh celana seragam SMA-nya. Nama ‘Choi minho’ tertera dalam layar ponsel Touchscreennya.
“Bajingan ini,” gumam Changmin. Lalu mengangkat
panggilan dari Minho.
“Wae?” tanya Changmin sinis dan langsung saja.
“Ku dengar kau ingin mari, brengsenk. Dengan senang
hati aku dan anak buahku akan membantumu,” jawab Minho dari balik telepon.
“Kalau kalian tidak bisa membuatku mati, awas saja.
Kalian yang akan kubuat mati.”
“Tenag saja, Jung. Kami sudah menyiapkan banyak
kekuatan lalu kami akan menjadi petarung paling hebat di Seoul ini. Hahahah…”
“Tsk. Jangan banyak bicara, buktikan saja. Dimana
kita bertemu.”
“Besok jam 7 malam aku tunggu kau di gudang kosong
samping mall X.”
Tut~
Sepihak, Changmin memutuskan telponnya diiringi
sebuah seringaian. Setelah melepaskan ponsel dari telinganya, ia melihat pada
wallpaper ponselnya. Foto ibunya – Jung Jihye yang disana.
Changmin meraba lembut, seolah sedang membelai wajah
ibu yang paling dicintainya. senyumnya, pelukannya, cerewetnya, masakannya.
Changmin merindukan semuanya, Changmin merindukan ibunya.
-FB-
“Ya,
Tuhan, Minnie. Kenapa kau menangis, sayang?” tanya Jihye dengan penuh
kekhawatiran di wajahnya. Setelah melihat Changmin kecil pulang dari sekolah
dasar dalam keadaan menagis setelah sebelumnya sempat bertengkar dengan
temannya.
Jihye
lalu menhampiri dan memeluk Changmin, menenangkannya.
-END FB-
Tes~
Tanpa terasa sebutir demi sebutir cairan bening
terjatuh dari sudut mata sayunya.
“Dan sekarang, bahkan Changmin tidak tahu harus
bersandar pada siapa saat Changmin ingin menangis,” kata Changmin, seolah-olah Jihye
benar-benar sedang bersamanya.
Ia lalu mencium foto Jihye dalam layar ponsel
tersebut.
“Eomma, Changmin lapar sekarang. Tapi Eomma tidak
memasak untukku lagi,” lanjut Changmin kemudian, kali ini dengan nada manja dan
ditemani air mata yang bertambah deras saja.
-FB-
“Minnie,
ayo cepat sarapan. Eomma sudah memasakkan masakan kesukaanmu!”
“Ne,
Eomma.” Changmin yang baru selesai memakai baju, segera beranjak menuju ruang
makan. Ia tersenyum, sederet piring berisi berbagai macam menu sarapan telah
berjejer rapi di meja makan. Disana Jihye dan Yunho telah menyambutnya dengan
tersenyum.
-END FB-
Kembali bayangan masa lalu mengelilingi di benak
Changmin. Saat ia masih bisa merasakan menjadi seorang anak yang sesungguhnya. Saat
perhatian dan kehatangan dari Appa dan Eommanya masih melindungi dirinya dari
kesepian. Tapi semuanya berubah setelah sekitar 3 tahun yang lalu. Jihye –
ibunya meninggal karena sakit kanker dan sejak itu Yunho sendiri menjadi jarang
dirumah karena bekerja hampir 24 jam penuh. Perlahan Changmin tak merasakan
lagi kehangatan sebuah keluarga, Yunho terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Changmin merasa dirinya sebatangkara. Ia menjadi
membenci dunia ini dan ingin menyusul Jihye yang berada di alam yang lain dan
lebih indah, disana. Setelah memasuki tingkat SMP, Changmin bergambung dengan
sekelompok preman sekolah. Ia sengaja selalu melibatkan diri dalam perkelahian
antar geng. Ia selalu berharap diantara mereka ada yang dapat membuatnya
meninggalkan dunia kejam ini. Tapi sialnya, sampai detik ini belum ada yang
mampu mengalahkan dan membuatnya mati. Damn
it.
“Eomma, tenang saja. Eomma tidak akan sendirian lagi
di sana, Changmin akan segera menyusul Eomma.” Ujar Changmin, masih seolah-olah
Jihye – ibunya duduk dihadapannya. Ia
lalu menyeka air matanya kemudian beranjak.
Changmin melangkah menuju kamarnya. Namun beberapa
langkah kemudian, kedua kakinya berhenti bergerak mendadak. Tepat di kamar
Yunho yang pintunya sedikit terbuka. Ia dapat melihat sosok Appanya sedang
duduk di meja kerjanya yang memang berada di kamar.
Sret~
“Shit!” umpan Yunho dari dalam sana. Yang masih
dapat sampai di telinga Changmin.
Changmin agak tersentak dan melebarkan matanya. Yunho
mendadak berdiri sebari melempar kasar kertas-kertas yang di tangannya, sesuatu
yang bahkan tak sekali saja pernah Changmin lihat. Ia tak pernah melihat
ayahnya semarah itu, bahkan saat Changmin pulang hampir pagi dengan luka-luka
lebam di wajah, Yunho justru menyambutnya hangat dan membantu mengobati
luka-lukanya.
“Jihye…” ucap Yunho, setelah melempar kertas-kertas
tadi, ia mengambil sebuah foto yang berframe
cantik. Foto Jihye saat tersenyum, indah, bahkan lebih indah dari frame yang membingkainya.
“Jihye-ah, aku lelah, sayang,” lanjut Yunho, kali
ini suaranya terdengar serak di telinga Changmin.
~Sir
Mendadak Changmin merasakan debaran kencang di
dadanya. Dan itu menyesakkan sekali. Ia masih melihat serius pada ayahnya, yang
seperti tak menyadari putranya berdiri di sana.
“Aku gagal membahagiakannya.Aku lelah, segala cara
kulakukan untuk membuatnya bahagia, tapi aku gagal. Bahkan sekarang dia
membeciku. Aku harus bagaimana, Jihye-ah? Ataukah aku menyusulmu saja agar dia
bahagia? Tapi kalau aku pergi, siapa yang akan menjaganya? Dia tidur dimana?
Siapa yang akan memberiakan dia uang jajan setiap hari? Bagaimana impiannya
untuk sekolah kedokteran di Amerika nanti? Jihye-ah, bantu aku.” Ucap Yunho
panjang lebar, dengan memandangi pada foto Jihye. Air mata yang belum pernah
Changmin lihat, detik itu ia menyaksikannya mengalir deras dari mata elang
Yunho.
Deg~
Deg~
Dan debaran itu seolah semakin menyakiti Changmin.
Yunho menghujani foto Jihye dengan kecupan-kecupan.
Ia lalu memeluk foto Jihye. Perlahan, Yunho meletakkan kepalanya di atas meja.
Mata elangnya yang masih basah, ia coba untuk menutupnya. Berharap jiwanya
segera pergi sejenak – menemui Jihye di alam mimpi.
Changmin memundurkan kakinya, ia bersandar ke tembok
samping pintu. Untuk sekali lagi, matanya mengeluarkan air mata. Ia tidak
menyangka ayahnya serapuh ini. Yunho selalu bersikap seolah ia kuat dan tegar
di hadapan Changmin. Bahkan dihari kematian Jihye, tak ada airmata yang Yunho
tampakkan. Yunho berdiri kokoh dan tampak sangat tegar hingga prosesi pemakaman
Jihye selesai.
Dari situ, pikiran-pikiran Changmin pun bermunculan.
Entah kenapa sikap ayahnya yang seperti malah mengartikan jika ayahnya tidah
sedih bahkan terpukul dengan kematian ibunya. Kematian Jihye hanya angin lalu
yang tak perlu ditangisi. Dan secara perlahan sejak hari itu, Changmin mulai
membenci sosok Yunho. Terlebih setelah Yunho jarang pulang dan tak pernah ada
untukknya. Rasa benci itu tumbuh semakin
kuat saja.
Changmin ingin sekali mengungkapkan protesnya pada
Yunho. Ia menderita ibunya pergi mendahului mereka, namun ia lebih menderita
dua kali lipat dengan ayahnya yang menjauhinya seperti ini. Tiba-tiba kaki
Changmin terasa berat digerakkan melangkah menuju Yunho, entah kenapa.
-------
Buk~
Changmin membungkukkan badan beberapa kali. Ia masih
terbayang sosok rapuh ayahnya tadi malam, hingga ia tak memperhatikan jalan dan
menabrak seseorang.
“Jung Changmin.”
Changmin segera menegakkan kepanya. Ia melihat pada
orang yang memanggil namanya barusan, ia lalu tersenyum. Orang itu juga yang
baru ditabraknya.
“Chun Ahjussi, Annyeonghaseo…” ujar Changmin sambil
membungkkan badan sekali lagi. Kali ini ia memberi salam.
Park Yoochun adalah teman Yunho – ayahnya, sekaligus
pemilik pabrik roti dimana Yunho bekerja sebagai administrator.
“Bagaimana kabarmu, Minnie? Apa sekolahmu baik-baik
saja?” tanya Yoochun seraya menepuk-nepuk pundak Changmin.
“Kabarku baik, dan sekolahku juga baik.” Changmin
tersenyum palsu. Yang sebenarnya ia sama sekali tak peduli lagi dengan
sekolahnya. Sekolah hanya formalitas, baginya yang terpenting sekarang adalah
menemukan cara untuk mati.
“Yunho sangat bangga padamu, Minnie. Ayahmu selalu
tampak antusias saat bercerita tentang dirimu. Dia bahkan sampai memintaku
untuk memberikannya pekerjaan tambahan. Aku tahu Yunho sudah lelah dengan
pekerjaannya sebagai admistrator, tapi begitu mengingat dirimu, semangat itu
seperti berbondong-bondong merasuki dirinya. Yunho masih bersemangat lembur
membuat roti setelah dia mengerjakan pekerjaan utama, karena Yunho ingin
mewujudkan impian Changmin bersekolah di
kedokteran Amerika. Kau benar-benar sangat beruntung memiliki Yunho yang
mencintaimu lebih dari dirinya sendiri.”
Cess~
Tiba-tiba seperti ribuan stick baseball terbang kepada Changmin. Sakit. Jika bukan tempat
umum, mungkin Changmin sudah terjatuh lalu menangis sekeras mungkin. Ia memang
bodoh dan naif. Yang tidak berdeda dengan anka kecil yang masih berpikiran
egosentris. Ia bahkan tidak pernah mau mengetahui cinta ayahnya yang sebesar
ini. Ia hanya melihat Yunho dengan perspektifnya sendiri. Ia tak pernah melihat
apalagi mencoba mengerti ayahnya tersebut. Ia benar-benar menjadi anak durhaka.
-------
Buk~
Buk~
Changmin masih terus memukuli satu persatu anak buah
Minho yang terus melawan meski diantara mereka banyak yang akan tumbang.
Sret~
“Shit!” umpat Changmin setelah salah satu anak buah
Minho berhasil menangkap dan memenjarakan pergerakkan Changmin. Changmin
meronta, namun kali ini anak buah Minho yang lebih kuat.
“ Malam ini kau akan mati, Jung Changmin. Dan aku
akan menjadi raja di ibukota ini,” ujar Minho, dengan saling membenturkan
kepalan dengan telapak tangannya. Seolah menunjukkan pada Changmin bahwa
dirinya sudah siap mematikan remaja tinggi tersebut.
Changmin meronta semakin kuat. Ia tidak ingin kalah
dari Minho. Ia tidak boleh mati malam ini.
Pertentangan demi pertentangan di Id-nya telah mengubah emosi negatifnya
menjadi positif. Ia tak lagi menganggap Yunho sengaja meninggalkannya
sendirian. Ayahnya itu bekerja keras untuk dirinya hingga bisa dibilang sampai
lupa diri. Ia akan menjadi orang paling kejam jika ia sampai mengecewakan ayahnya.
Ayahnya itu semenderita juga dengan dirinya karena
kematian Jihye.
Buk~
Satu pukulan Minho melayang ke pipi kanan Changmin.
Buk~
Kedua kali untuk pipi kiri Changmin.
Buk~
Buk~
Buk~
Dan Minho memukuli perut Changmin dengan
bertubi-tubi seraya tertawa-tawa.
-------
Yunho mengemudi mobilnya seperti setan yang
mengendalikan dirinya. Setelah mendapat telepon dari salah satu teman Changmin
bahwa malam ini Changmin akan bertarung dengan Minho dan anak buahnya, seorang
diri. Yunho pun jadi kalang kabut. Ia langsung meminta Yoochun untuk
menghubungi polisi sementara dirinya menuju tempat kejadian terlebih dahulu. Ia
benar-benar takut.
Yunho memang sudah mengetahui tentang geng Changmin.
Ia bukan sekali dua kali melihat Changmin pulang dengan membawa luka-luka. Ia
juga tahu Changmin petarung yang hebat, tapi kalu menghadapi banyak orang
seperti, Changmin bisa mati.
------
Yunho menghentikan laju mobilnya dipinggiran jalan.
Mata elangnya bisa melihat jelas di bangunan kosong itu, cukup banyak orang mengelilingi
satu orang yang tampak sedang dipukuli secara bergantian. Tanpa banyak bicara,
Yunho segera keluar dari mobilnya dan bergegas ke tempat orang-orang tadi
berkumpul.
“Yak! Hentikan!” teriak Yunho lantang. Membuat semua
orang disana jadi melihat pada Yunho. Termasuk Minho yang seketika berhenti
memukuli dan Changmin yang membuka mata lebar-lebar. Dari mana ayahnya bisa
tahu tentang ini?
“Hey, ahjussi. Lebih baik ahjussi segera pergi dari
sini. Ini permainan anak muda.” Kata Minho pada Yunho.
Changmin masih tak dapat mengucap apapun. Ia masih shock dengan keberadaan Yunho disini.
“Ku pikir ini bukan permainan anak muda, tapi pemainan para pecundang.
Beraninya keroyokan,” timpal Yunho, sengaja memprovokasi.
Perlahan, Minho mengepalkan tangannya. Ia mulai
terpacu emosi.
“Saat muda, aku juga seorang petarung seperti
kalian. Dan seorang petarung tidak ada harga harga diri kalau menang namun
mencundangi.” Kata Yunho, sambil menggulung lengan bajunya.
Sret~
Buk~
Dalam beberapa detik Yunho men-tackling kaki anak buah Minho sehingga Chaming dapat melepaskan diri dari kungkungan anak buah
Minho. Changmin masih melihat ayahnya serius.
“Ayo bertarung bersama,” ajak Yunho dengan tersenyum.
Kaki Yunho agak melebar dengan posisi kuda-kuda. Ia tidak akan membiarkan
Changmin mati karena hal bodoh seperti ini.
Sret~
Yunho mengangkatkan satu kakinya – menendang satu
persatu anak buah Minho yang mendekati nya.
“Hia!” Minho
nyaris berhasil memukul Changmin dari belakang, dan seolah telinga Changmin bak
telinga kelelawar, dapat menagkap
gelombang suara yang bahkan sangat kecil. Changmin dapat segera marasakan
gerakan kaki Minho yang mendekatinya, ia segera reflek berbalik ke belakang
melawan Minho.
Perkelahian memanas selama beberapa menit. Yunho
dapat menumbangkan beberapa anak buah Minho, tapi sesekali juga ia mengalami
terjatuh.
Sret~
“Ah!” rintih Yunho. Tanpa ia sadari, dari belakang
seseorang men-tackling kakinya. Ia
pun tersungkur ke tanah.
Buk~
Buk~
“Aaah…!” Yunho mengerang agak keras hingga Changmin
dapat mendengarnya.
“APPA!!” teriak Changmin, melihat Yunho dipukuli
dengan balok kayu oleh anak buah Mimho.
Minho mendengar Changmin meneriakkan ‘Appa’, ia
menghentikan sejenak perkelahiannya. Ia lalu tertawa meremehkan.
“Oh, jadi ahjussi sombong itu Appamu, Jung Changmin.
Ck, kau benar-benar idiot, membawa orangtua untuk keadaan seperti ini. Katanya
penguasa Seoul, benar-benar melakukan.”
Changmin mengepalkan tangan, tidak terima.
Buk~
Ia tanpa banyak bicara melayangkan sebuah pukulan
pada wajah Minho.
Minho tersungkur, namun ia malah tertawa-tawa.
“Memalukan! Kau, bukan lelaki. Ckckck….” Minho
meremehkan, semakin menyulut emosi.
Changmin menjadi lebih brutal memukuli Minho.
“Pukul ajussi sombong itu lebih keras lagi!” teriak
Minho pada anak buahnya yang memukuli Yunho.
“Hentikan! Atau kau akan mati di tanganku!” geram
Changmin, ia jadi semakin liar memukuli Minho.
“Ah! Ah!” erang Yunho yang semakin kesakitan.
Ditengah-tengah perkelahian, tiba-tiba terdengar
suara sirine polisi. Dalam waktu singkat, polisi-polisi tersebut mengepung dan
mengkapi Minho berserta anak buahnya.
“Appa!” Changmin menghampiri Yunho yang terkapar di
tanah, dengan darah mengalir dimana-mana dari wajahnya.
“Changminnie, kau tidak apa-apa sayang?” meski denga
tertatih, Yunho berusaha bangkit menghampiri Changmin. Ia ingin memastikan
bahwa Changmin tidak terluka sedikitpun.
Changmin mulai merasakan hangat di area mata. Dan
satu, dua butir cairan bening menuruni pipinya. Bahkan ia tak pernah
terpikirkan akan sampai sejauh ini Yunho melindunginya. Yang bisa dibilang
Yunho bertaruh nyawa juga.
“Bodoh, seharusnya aku yang bertanya seperti itu.”
Setelah Changmin dan Yunho berdiri berdekatan, Changmin segera memeluk Yunho.
“Seharusnya aku yang bertanya. Apa kau baik-baik
saja, Appa?” Changmin mengulang kata-katanya. Kali ini dengan sangat lembut.
“Aku, tentu Appa baik-baik saja. Lihatlah, Appa
masih bisa memeluk – “
Mendadak, suara Yunho tak terdengar lagi. Hanya
hembusan nafas berat yang dapat Changmin rasakan disekitar telinganya. Ia lebih
mengeratkan pelukannya pada Yunho, ia menangis di pundak kekar ayahnya tanpa
ragu.
---------
Yunho terus melihat pada Changmin yang sedang
menyuapi dirinya. Seoalah ini seperti mimpi yang indah. Dan jika memang hanya
mimpi, Yunho meminta untuk Tuhan tidak membangunkan tidurnya. Kebersamaan
dengan putranya seperti ini, sudah sangat lama ia rindukan.
“Changminnie, apa kau membenci Appa?” tanya Yunho.
Changmin lalu mengehentikan gerakan tangannya
menyuapi Yunho, yang dirawat di rumah sakit setelah perkelahian malam tadi. Ia
lalu berdiri sebari meletakkan makanan Yunho di nakas sebelah tempat tidur.
“Changminnie…” Yunho meraih tangan tangan Changmin.
“Tentu saja aku membencimu, Appa! Kau selalu sibuk
dengan pekerjaanmu, kau tak pernah memelukku lagi seperti dulu. Kita bahkan
tidak pernah lagi bercanda atau sarapan
bersama seperti. Aku membencimu, Appa! Kau selalu membuatku kesepian. Changmin
sudah menderita karena kepergian Eomma, kalau Appa meninggalkanku juga. Lebih
baik aku mati.”
Yunho perlahan melepaskan genggaman pada tangan
Changmin. Ia agak tak menyangka. Ia selalu berpikir dengan ia bekerja keras
untuk mewujudkan impian Changmin bersekolah di Amerika, ia dapat membuat
Changmin bahagia. Namun ia begitu naif, dengan tak mempertimbangkan Changmin
dalam hal ini. Ia bekerja hampir setiap waktu, berarti ia juga meninggalkan Changmin
secara bersamaan.
“Jihye-ah, aku benar-benar bodoh. Karena kebodohanku
Changmin jadi membenciku.” Yunho mengadu pada foto Jihye yang memang sengaja
Changmin taruh nakas di sebelah ayahnya. Changmin berpikir mungkin dengan ‘ada
ibunya’ di sebelah ayahnya, dapat sedikit membuat semangat untuk ayahnya yang
sakit tersebut.
“Eomma, tapi Changmin mengerti sekarang. Semua yang Appa
lakukan juga untuk Changmin. Appa bekerja keras untuk mewujudkan mimpi
Changmin. Appa sangat mencintai Changmin melebihi dirinya sendiri. Jadi mulai
sekarang Changmin akan mencoba mencintai Appa lagi. Meski masakan Appa tak
seenak masakan Eomma, meski Appa sangat bodoh tidak memperdulikan kesehatannya
demi anaknya. Changmin janji akan tetap mencintai Appa, seperti Appa mencintai
Changmin.” Changmin menyahut, juga melihat pada foto Jihye. Ia lalu melihat
pada Yunho sambil tersenyum.
Yunho benar-benar kehilangan kata-katanya. Namun ia
juga sangat bersyukur.
“Terima kasih kau mau mengerti Appa, Changminnie.
Apa juga berjanji akan lebih memperhatikanmu.”
“Appa juga tidak boleh melupakan diri Appa sendiri.
Jangan bekerja terlalu keras. Changmin akan lebih serius sekolah dan berusaha
mendapatkan beasiswa ke Amerika.”
Yunho mengangguk.
“Appa senang sekarang?”
“Tentu saja. Appa bisa memelukmu lagi seperti dulu.”
“Jangan berpura-pura kuat kalau memang Appa sedang
rapuh. Appa jangan menutupi apapun dari Changmin lagi.”
Yunho tersenyum.
“Appa mengerti. Appa tidak akan menutupi apapun
darimu lagi. Sekarang, ada yang sedang apa rasakan. Dan Appa akan mengatakannya
sekarang, kalau Appa tidak terima kau bilang masakan Appa tidak enak.”
Changmin yang sebenarnya akan menjatuhkan airmata
harunya, jadi melongo. Ia tiba-tiba merasa konyol dengan ucapan ayahnya barusan,
dan malah jadi ingin tertwa.
“Itu kenyataan, Appa.” Changmin menimpali.
“Appa bisa membuat spagety, bahkan Eomma-mu memuji masakan Appa.”
“Itu karena Eomma tidak ingin membuatmu sedih. Appa
pasti masih ingat, setelah memakan masakan Appa waktu itu, bukankah kita semua
jadi bolak-balik ke kamar mandi. Spagety
Appa rasanya tidak karuan, terlalu pedas. Yang jelas sangat berantakan.”
Changmin berujar dengan santainya.
“Jung Changmin!” Yunho mengangkat kepalan tangannya, Ia hanya berpura-pura marah.
Changmin malah menjulurkan lidah pada Yunho.
~THE END~
0 komentar:
Posting Komentar